Kab. Tasik kabarjurnalis.com - Kasus dugaan penggunaan mobil dinas berpelat merah untuk mengangkut alat peraga kampanye (APK) di Desa Cintawangi Kecamatan Karangnunggal Kabupaten Tasikmalaya, bukan sekadar persoalan administratif. Ia adalah refleksi dari masalah yang lebih mendasar kegagalan sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjaga netralitas dan integritas menjelang Pilkada. Sabtu (12/4/2025).
Dalam negara demokratis, netralitas ASN dan penggunaan sumber daya negara merupakan pilar penting agar proses demokrasi berjalan adil dan bersih. Namun, ketika fasilitas negara seperti kendaraan dinas justru digunakan untuk kepentingan politik praktis, publik patut bertanya: di mana letak tanggung jawab moral dan hukum dari para pemangku jabatan?
Pernyataan saling bantah antara pihak Dinas PUPR melalui Sekdis dan Kabid-nya, dengan Kepala Desa serta Ketua Karang Taruna Desa Cintawangi, justru membuka babak baru. Ketika Sekdis mengklaim ada surat permohonan resmi dari Karang Taruna untuk meminjam mobil dinas, tapi Kades dan Ketua Karang Taruna dengan tegas membantahnya dan menyatakan bahwa surat tersebut palsu, kita dihadapkan pada dugaan serius tentang adanya manipulasi dokumen negara.
Jika benar surat itu palsu, ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika, tapi sudah masuk ranah pidana. Apakah benar ada oknum yang sengaja membuat surat palsu demi memuluskan kepentingan politik tertentu? Jika ya, maka ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Apalagi, mobil dinas itu disebut-sebut mengangkut APK pasangan calon nomor urut 3. Dalam konteks Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Tasikmalaya yang tengah jadi sorotan, kasus seperti ini menambah daftar kekhawatiran publik akan tercemarnya proses demokrasi.
Kita tidak sedang bicara soal satu mobil atau satu baliho. Ini soal pesan simbolik: bahwa alat negara seolah bisa dipakai untuk kepentingan kelompok tertentu. Ini mencederai prinsip keadilan pemilu dan membuka peluang bagi ketidakpercayaan terhadap hasilnya nanti.
Maka dari itu, investigasi menyeluruh sangat diperlukan. Tidak cukup hanya klarifikasi satu-dua pihak lewat media. Harus ada audit internal, pelibatan Bawaslu, dan bahkan jika perlu aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan pemalsuan surat dan penyalahgunaan fasilitas negara ini. Siapa pun yang terbukti bersalah harus dihukum, tanpa pandang bulu—karena demokrasi yang sehat hanya bisa lahir dari proses yang jujur.
Sebagai warga negara, kita punya hak untuk menuntut pemilu yang bersih dan aparat negara yang netral. Kasus di Cintawangi ini semoga menjadi peringatan keras bahwa publik tidak tinggal diam ketika demokrasi dijalankan dengan cara-cara yang kotor. (Asep.Setiadi)