Diduga Pungli Rp.20 Ribu, Dua Guru di Makassar Bebas di Tipikor, Justru Dihukum di Kasasi MA Kini Menjadi Pusat Perhatian Publik

 


Jakarta kabarjurnalis.com - Nasib dua guru di Lawu, Makassar, Rasnal dan Abdul Muis, kini menjadi pusat perhatian publik setelah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman penjara masing-masing satu tahun serta denda Rp.50 juta. Putusan kasasi ini bertolak belakang dengan vonis Pengadilan Tipikor Makassar yang sebelumnya menyatakan keduanya bebas (onslag) dari tuduhan korupsi.


Di tingkat pertama, majelis hakim Tipikor menilai tidak ada bukti kuat bahwa keduanya melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. Namun, majelis hakim kasasi yang terdiri dari Prim Hariyadi, Eddy Army, dan Anshori, memutuskan sebaliknya. Padahal, Rasnal dan Abdul Muis diketahui berupaya membela nasib belasan guru honorer yang sudah lama tidak menerima gaji, dengan cara memungut iuran Rp.20 ribu dari orangtua murid.


Sorotan Publik dan Media


Putusan kasasi ini segera menjadi viral di media sosial dan diberitakan luas oleh media nasional maupun internasional. Publik menilai kasus ini mencerminkan kejanggalan dalam sistem peradilan, bahkan disebut sebagai “anomali hukum” di negeri ini.


Dr. Andi Samsan Nganro, SH MH, mantan Wakil Ketua Bidang Yudisial MA periode 2020–2023, turut angkat bicara. Ia menilai kedua guru seharusnya dibebaskan karena tidak memiliki niat jahat dan tidak merugikan negara.


“Sekalipun pungutan Rp.20 ribu itu melanggar kaidah hukum, harus dilihat niatnya. Kedua terdakwa hanya berusaha membayar gaji belasan guru honorer yang sangat dibutuhkan di sekolah,” ujar Andi Samsan kepada Ketua Forum Wartawan Mahkamah Agung (FORWAMA), saat dikonfirmasi melalui sambungan WhatsApp miliknya, Senin (17/11/2025).


Kritik terhadap Putusan


Andi Samsan menegaskan, hakim sebagai “wakil Tuhan” semestinya menggunakan hati nurani dalam memutus perkara. Menurutnya, keadilan yang nyaman dirasakan masyarakat hanya bisa lahir dari putusan yang berlandaskan nurani, bukan sekadar teks hukum yang kaku.


Pandangan serupa disampaikan wartawan senior Chandra F. Simatupang, Ketua PWRI Tasikmalaya. Ia mengingatkan agar kasus ini tidak menjadi pengulangan tragedi hukum seperti Sengkon dan Karta.


“Dua guru ini hanya berjuang demi belasan guru honorer yang sudah lama mengajar tanpa gaji, sementara kebutuhan hidup mereka mendesak setiap hari,” ujarnya.


Konteks Politik dan Perbandingan


Sorotan publik semakin tajam ketika membandingkan kasus ini dengan keputusan Presiden Prabowo yang menggunakan hak prerogatif untuk membebaskan tokoh politik Thomas Lembong dan Sekjen PDIP Hasto dari hukuman penjara. Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan publik: mengapa dua guru yang hanya memungut biaya kecil demi keberlangsungan pendidikan justru dijatuhi hukuman berat di tingkat kasasi?


Analisis


Kasus Rasnal dan Abdul Muis bukan sekadar perkara hukum, melainkan juga cermin dilema moral dalam sistem peradilan. Di satu sisi, pungutan liar tetap melanggar aturan. Namun di sisi lain, motif kemanusiaan untuk membayar gaji guru honorer yang sudah lama tidak menerima upah menimbulkan simpati publik.


Putusan kasasi ini memperlihatkan jurang antara teks hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketika publik menilai hakim kurang menggunakan hati nurani, kepercayaan terhadap lembaga peradilan pun dipertaruhkan. (Iwa/Red)

Lebih baru Lebih lama