Kab. Tasik kabarjurnalis.com — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sebagai upaya peningkatan gizi anak-anak sekolah kini berada di bawah sorotan tajam.
Sejumlah kasus keracunan makanan yang terjadi di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Tasikmalaya, telah menimbulkan keresahan publik dan memicu desakan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program tersebut.
Salah satu suara kritis datang dari Topan Prabowo, S.H., selaku salah satu Dewan Pembina Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten Tasikmalaya, sekaligus konsultan hukum.
Dalam pernyataannya, Topan mengungkapkan keprihatinan mendalam atas lemahnya pengawasan dan kontrol kualitas dalam pelaksanaan MBG yang telah menyebabkan korban, terutama di kalangan anak-anak.
“Perhatian serius perlu diberikan karena kejadian ini sangat merugikan masyarakat, khususnya anak-anak, dan berpotensi menimbulkan dampak hukum yang serius,” ujar Topan saat dikonfirmasi oleh awak media melalui sambungan telepon whatsapp miliknya, Minggu (28/9/2025).
*Aspek Hukum: Kelalaian yang Tak Bisa Diabaikan*
Topan menegaskan bahwa insiden keracunan makanan bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk kelalaian yang dapat dikenai sanksi hukum pidana maupun perdata.
Ia merinci bahwa secara pidana, pengelola program yang lalai dapat dijerat dengan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain sakit. Jika insiden tersebut berujung pada kematian, maka Pasal 359 KUHP dapat diberlakukan, dengan ancaman hukuman penjara yang lebih berat.
“Ini bukan hanya soal makanan basi atau distribusi yang buruk. Ini menyangkut nyawa anak-anak. Jika ada kematian, maka konsekuensinya sangat serius secara hukum,” tegasnya.
Dari sisi hukum perdata, korban atau keluarga korban memiliki hak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian wajib diganti oleh pelaku. Dalam konteks MBG, penyelenggara program bertanggung jawab penuh atas kualitas dan keamanan makanan yang disalurkan.
“Penyelenggara tidak bisa berlindung di balik niat baik program. Tanggung jawab hukum tetap melekat, dan masyarakat berhak mendapatkan perlindungan serta keadilan,” tambahnya.
*Lemahnya Pengawasan dan Risiko Sistemik*
Topan juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan kontrol kualitas dalam pelaksanaan MBG. Ia menilai bahwa standar higienis dan protokol keamanan pangan belum diterapkan secara konsisten, terutama oleh pihak ketiga yang menjadi penyedia makanan. Menurutnya, pengawasan yang lemah membuka ruang bagi praktik asal-asalan dan potensi penyimpangan.
“Pengawasan yang lemah berisiko besar tidak hanya merugikan kesehatan masyarakat, tetapi juga menghadapkan pengelola pada risiko hukum yang serius,” pungkasnya.
Kejadian keracunan MBG yang telah dilaporkan di berbagai daerah, termasuk Tasikmalaya, menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat dan daerah. Program yang semestinya menjadi solusi gizi justru berpotensi menjadi sumber masalah baru jika tidak dikelola dengan profesional dan bertanggung jawab.
*Desakan Audit dan Reformasi Sistem*
Sejumlah pihak kini mendesak dilakukannya audit menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG, termasuk evaluasi terhadap vendor penyedia makanan, sistem distribusi, dan mekanisme pengawasan. Selain itu, perlu ada transparansi dalam pelaporan insiden serta penegakan hukum terhadap pihak yang terbukti lalai.
Program MBG, yang menyasar anak-anak sebagai kelompok paling rentan, harus dijalankan dengan standar tertinggi. Tanpa reformasi sistemik dan komitmen kuat dari pemerintah, program ini berisiko kehilangan legitimasi dan menimbulkan dampak sosial yang lebih luas. (Iwa)