Tasikmalaya (kabarjurnalis.com) - Di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat, fenomena masyarakat berhutang kepada rentenir atau yang dikenal dengan istilah bang emok, terus menjamur. Awalnya, praktik ini mungkin muncul sebagai solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Namun, kenyataannya, banyak orang meminjam uang ke bang emok bukan untuk hal yang produktif atau mendesak, melainkan demi memenuhi gaya hidup semu yang sebenarnya tidak esensial.
Bang emok dikenal dengan sistem peminjaman yang mudah, cepat, dan tanpa syarat administrasi yang berbelit-belit seperti di lembaga keuangan formal. Hal ini tentu saja menarik bagi mereka yang membutuhkan dana instan. Namun, di balik kemudahannya, terdapat bunga yang mencekik dan skema pembayaran yang sering kali memberatkan. Alih-alih menjadi solusi keuangan, hutang ini justru menjadi sumber masalah baru yang sulit diselesaikan.
Ironisnya, sebagian besar peminjam bang emok tidak menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan penting seperti pendidikan anak, biaya kesehatan, atau modal usaha kecil. Sebaliknya, dana pinjaman sering kali dihabiskan untuk membeli barang konsumtif seperti ponsel terbaru, pakaian mewah, perhiasan, atau sekadar untuk mengikuti tren gaya hidup di media sosial. Fenomena ini menjadi gambaran jelas bagaimana dorongan untuk tampil "wah" di mata orang lain dapat mengalahkan akal sehat dalam pengelolaan keuangan pribadi.
Budaya konsumtif yang semakin menjalar di masyarakat, ditambah dengan tekanan sosial untuk selalu terlihat sukses dan berpenampilan menarik, menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak orang terjerumus dalam jerat hutang bang emok. Mereka rela mengambil risiko finansial besar demi kesan sesaat, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjangnya.
Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya terjebak dalam siklus hutang yang tidak berujung. Dengan bunga yang besar dan sistem pembayaran yang ketat, penghasilan harian atau mingguan habis hanya untuk membayar bunga pinjaman, sementara pokok utang tetap tidak berkurang. Alhasil, kondisi keuangan semakin kacau, dan keluarga pun ikut terdampak.
Selain itu, faktor rendahnya literasi keuangan turut memperparah situasi ini. Banyak orang tidak memahami risiko dari bunga pinjaman yang tinggi dan kewajiban pembayaran yang akan terus membebani keuangan mereka. Minimnya pemahaman ini membuat mereka mudah tergoda untuk mengambil pinjaman baru hanya untuk menutupi pinjaman lama, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Solusi dari masalah ini tentu memerlukan pendekatan yang holistik. Pertama, edukasi literasi keuangan harus ditingkatkan, khususnya di kalangan masyarakat yang rentan terjebak pinjaman ilegal. Mereka perlu memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan serta risiko besar dari praktik pinjaman dengan bunga mencekik.
Kedua, pemerintah dan lembaga terkait harus meningkatkan pengawasan terhadap praktik rentenir ilegal dan memberikan alternatif pinjaman yang lebih manusiawi melalui lembaga keuangan resmi seperti koperasi atau bank mikro. Program pinjaman dengan bunga rendah yang mudah diakses oleh masyarakat kecil harus menjadi prioritas untuk memutus rantai ketergantungan pada bang emok.
Pada akhirnya, kesadaran individu juga menjadi faktor penting dalam memutus fenomena ini. Masyarakat perlu memahami bahwa memaksakan diri untuk hidup di luar kemampuan finansial hanya akan menimbulkan kesengsaraan di kemudian hari. Hutang seharusnya menjadi alat untuk produktivitas dan kemandirian ekonomi, bukan sekadar untuk memuaskan gaya hidup yang penuh kepalsuan.
Berhutang demi gaya hidup semu adalah langkah yang tidak hanya merusak kestabilan keuangan, tetapi juga membawa dampak psikologis dan sosial yang serius. Sudah saatnya masyarakat belajar untuk hidup sesuai kemampuan dan menjauh dari jebakan utang konsumtif yang hanya akan membuat dompet kosong dan pikiran semakin terbebani. (Soni.R)