Pemalang, Jateng kabarjunalis.com - Program Pendaftaran Sistematik Lengkap (PTSL) di Desa Sirangkang Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang, diduga tidak transparan. Pasalnya, " Warga menuntut uang yang sudah masuk ke pihak Desa untuk membuat sertifikat minta dikembalikan.
Kini Pemdes Sirangkang menjadi saksi atas kembalinya suara masyarakat yang menuntut kejelasan dan keadilan dalam layanan publik.
Pemerintah Desa (Pemdes) Sirangkang mulai melaksanakan pengembalian uang pendaftaran PTSL sebesar Rp250.000, itu pun dilakukan secara bertahap kepada warga yang sejak tahun 2021 belum mendapatkan sertifikat tanah, sebagaimana telah dijanjikan dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Jum'at (16/5/2025).
Pengembalian ini merupakan respons terhadap desakan warga yang merasa proses PTSL di Desa nya berjalan lambat, dan tidak transparan. Seperti disampaikan oleh panitia PTSL saat ini, Mas Syamsuri, Desa Sirangkang sebelumnya mendapat kuota 555 bidang dari BPN Pemalang.
Namun hingga tahun 2025, baru 270 bidang yang selesai. Sisanya, sebanyak 285 bidang, masih belum ada kejelasan dan disebut masih berada di kantor BPN.
Warga bernama Ayu Ardita dan Hinayah telah lebih dulu mengambil kembali berkas serta uang pendaftaran, menyampaikan secara langsung keresahan mereka di balai Desa. Mereka menuntut bukan hanya pengembalian dana, tetapi juga akuntabilitas dari program yang sedianya bertujuan mempermudah akses legalitas tanah bagi masyarakat.
"Pengembalian dana tanpa potongan ini merupakan langkah positif, namun bukan solusi jangka panjang. Pemerintah Desa dan instansi terkait perlu memperbaiki tata kelola program PTSL agar tidak menimbulkan kekecewaan serupa di masa mendatang. Keterbukaan informasi, laporan berkala, serta kejelasan targget penyelesaian harus menjadi standar baru dalam pelaksanaan program seperti ini.
Kejadian di Sirangkang mengingatkan kita bahwa transparansi bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan dasar warga dalam mengakses hak-haknya. Dan hari ini, masyarakat Sirangkang sedang memperjuangkan hal itu—secara nyata, dengan langkah kaki menuju balai desa dan suara yang tak lagi bisa diabaikan. (Budi.Santoso)