Kab. Tasik kabarjurnalis.com - Pemungutan Suara Ulang (PSU) seharusnya menjadi momen perbaikan dalam proses demokrasi. Namun di Kabupaten Tasikmalaya, nuansa keadilan kembali tercoreng oleh dugaan pelanggaran: sebuah mobil dinas berplat merah tertangkap digunakan untuk memasang alat peraga kampanye (APK) oleh tim salah satu calon kepala daerah, tepatnya calon nomor urut 3 beredar di grup WA, kamis (10/04/2025).
Kejadian ini terjadi di tengah PSU, yang semestinya menjadi ajang pemulihan dari kesalahan teknis atau administratif dalam pemilu sebelumnya. Namun, alih-alih memberi harapan akan proses yang lebih bersih dan transparan, justru muncul praktik yang merusak prinsip netralitas dan etika demokrasi.
Penggunaan mobil plat merah, yang merupakan fasilitas negara, untuk keperluan kampanye adalah bentuk nyata penyalahgunaan wewenang. Ini bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kejujuran proses PSU yang sedang berjalan. Fasilitas negara tidak boleh digunakan untuk mendukung kepentingan politik salah satu pihak — karena itu akan menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam kompetisi demokratis.
Yang lebih memprihatinkan, peristiwa ini terjadi bukan dalam tahapan kampanye awal, melainkan di fase PSU — yang notabene harus dijaga dengan ekstra ketat dari segala bentuk pelanggaran. Harusnya semua pihak, baik peserta pemilu maupun penyelenggara, bersikap lebih hati-hati dan menjunjung tinggi integritas. Tapi justru di momen krusial inilah dugaan pelanggaran terjadi secara terang-terangan.
Publik tentu berhak bertanya: bagaimana mungkin sebuah kendaraan dinas bisa ikut serta dalam aktivitas kampanye tanpa pengawasan? Apakah ini bentuk kelalaian? Atau justru cerminan dari adanya dukungan terselubung dari birokrasi kepada salah satu calon?
Bawaslu dan pihak berwenang harus bersikap tegas. Jangan sampai PSU hanya jadi formalitas, tanpa tindakan nyata terhadap pelanggaran. Bila memang terbukti ada penyalahgunaan fasilitas negara, harus ada sanksi administratif atau bahkan pidana, baik kepada pihak pengguna kendaraan maupun calon yang diuntungkan.
Calon kepala daerah nomor urut 3 juga harus memberikan klarifikasi terbuka. Dalam situasi PSU, transparansi dan tanggung jawab moral menjadi krusial. Publik ingin tahu: apakah ini dilakukan atas sepengetahuan calon, atau hanya inisiatif oknum di tim suksesnya? Diam bukanlah pilihan yang bijak.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi masyarakat Tasikmalaya. Demokrasi tidak hanya soal hasil akhir, tapi juga proses yang jujur, adil, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. Mari kita kawal bersama agar PSU benar-benar menjadi koreksi, bukan pengulangan dari kesalahan yang sama. (Asep Setiadi)